Rabu, 17 Oktober 2018

HEBATNYA BUMI MANUSIA


Tentang buku ini, eummm saya recommended sekali buat kalian untuk mebacanya, yaaah meskipun memang saya baru akhir-akhir ini suka terhadap novel karena selama ini yang saya senangi hanya film-film bioskop, dalam membaca novel mungkin masih hitungan jari saya membacanya, tak banyak karena saya pada awalnya tak suka berimajinasi melalui buku, melalui film lebih visual dan saya lebih suka itu.
Saya bukan ahli sastra, belum mengerti bagaimana menulis yang baik bahkan mengarang cerita pun saya masih belum mampu, tapi percaya atau tidak buku ini sanggup merubah persepsi saya tentang sebuah novel, karena buku ini saya jadi lebih penasaran tentang cerita-cerita novel, buku ini menambah minatku terhadap dunia sastra indonesia, bahkan saya yang sekarang sedang mengambil jurusan pendidikan sejarah tingkat akhir berfikir “apakah saya perlu kuliah lagi di bidang sastra” karena jujur pada awalnya saya kuliah sejarah itu karena kebutuhan saya sebagai seorang guru, tapi tak ada hubungannya dengan latar belakang saya, mari kita berbicara tentang novel ini dengan kesan-kesan selama saya membaca lembar tiap lembar sampai akhirnya tamat dan membuatku berderai air mata (hahaha lebay).
Berlatar cerita pada abad ke 19 buku ini di awali dengan keterangan seorang tokoh utama bernama minke yang menjelaskan tentang kemajuan umat manusia di zamannya, di awal halaman buku ini saya belum terlalu antusias dalam membacanya terlebih pada waktu itu saya membaca di elf jurusan bandung-garut yang kondisinya tak mendukung mood saya untuk membaca malah membuat kepala pusing dan pengennya tidur.
Dari bahasa awal nya mungkin karena buku ini ditulis sebelum tahun 2000an oleh pengarangnya maka saya pun berprasangka bahwa gaya bahasanya akan sedikit banyak tidak saya mengerti, tapi jutru disanalah ketika setelah bab pertama saya baca dan belum menarik minat saya dalam membaca novel ini akhirnya saya diamkan buku itu sampai beberapa hari, bahkan mungkin minggu karena prasangka awal saya yang udah jelek.
Tapi  di suatu malam yang dingin dan berselimutkan sepi (cieeee) hati ini seolah sepi tak ada yang menemani (efek jomblo mah gini wkwkwk) maka saya melihat buku ini tergeletak tak berdaya di meja tamu saya dan buku itu tergeletak lama sampai akhirnya dia meraung padaku seolah ingin dibaca, maka mulailah saya melanjutkan membaca buku ini.
Saya lanjut bab ke dua, dimulai dari tokoh minke yang katanya selalu membayangkan melalui lukisan seorang ratu belanda yang termat cantik juga rupawan, dia memabayangkan bahwa ratu ini amat sangat didambakan oleh para pria, dan setelah itu kepergog sama sahabatnya Suhrouf (kira kira gituh lah nulis namanya) dia mengejek minke yang selalu berhayal tentang ratu belanda tersebut, akhirnya singkat cerita si suhrof ini menantang minke untuk berbicara dan menyatakan perasaannya kepada gadis yang cantik percampuaran belanda indonesia atau dalam kala lain bisa disebut indo.
Dari sini mulai kesan menarik dapat aku rasakan dalam setiap kata yang ditulis oleh seorang pengarang novel, mulai dari bagaimana watak si gadis cantik bernama annelies yang cantik nan rupawan dan nantinya akan menjadi istri minke, bagaimana kaka annelies yang egois dan memiliki watak rasis tinggi terhadap pribumi bernama Robert Millema, seorang nyai (bisa saya katakan budak/dalam buku ini disebut gundik) yang pemikirannya jauh melampaui anggapan orang – orang pada waktu itu, ia bernama nyai antosoroh dan majikan nyai antosoroh yang orang belanda juga yang mengajarkan nyai berbagai macam ilmu dari mulai membaca dll, namun watak majikannya itu berubah seketika dan menjadi seorang pemabuk dan kacau lah pkona mah, ia bernama Maurits Millema, lalu ada jean dll yang semuanya memiliki karakter yang menarik menurut saya dan dikemas dengan alur cerita yang apik dan sehingga imajinasi ini tak diberi kesempatan untuk bertanya kembali tentang apa yang dituliskan pengarang, semua seolah tergambar jelas seperti film-film bioskop dalam imajinasiku.
Ku baca lembaran demi lembaran buku tersebut mulai dari bagaimana seorang minke bertemu dengan annelies, tentang perjuangan cinta 2 insan dan bagaimana keluarga itu diuji, sampai saya kira cerita itu akan berkahir di saat minke dan analies menikah, namun ternyata tidak, penulis rupanya membuat akhir ceritanya denga amat sangat menyedihkan, bagaimana ternyata keluarga millema yang dibelanda menuntut hak atas harta Millema yang waktu itu diceritakan Millema sudah wafat, berikut juga keluarga Millema menginginkan Annelies untuk kembali ke belanda, dan ini nih yang sedihnya di bagian ini, bayanganku tertuju pada seorang ibu yang telah melahirkannya, mendidiknya dengan susah payah sampai menjadi Annelies yang luar biasa, tapi tidak di akui di hadapan orang-orang belanda dan akhirnya annelies harus dibawa ke belanda meninggalkan ibunya, suaminya dan tempat dimana dia dibesarkan, oh god, saya membayangkan bagaimana ibu itu yakin sakitnya luar biasa, apalagi saya membayangkan seorang minke sebagai seorang suami yang harus kehilangan istrinya, walaaah itu ending yang sayang luar biasa saya terenyuh. (lebay deh)
Tapi dilain hal selain dari alurnya yang menarik, saya mendapatkan gambaran menarik tentang bagaimana kondisi sosial masyarakat pada waktu itu yang saya sendiri tidak menemukannya dalam buku-buku sejarah yang telah saya baca, bagaimana setatus pribumi sebagai penduduk asli pada waktu itu, juga bagaimana belanda bersikap semena mena terlebih dalam membuat keputusan keputusan pemerintahannya, saya tak tau pasti apakah itu memang keadaan asli pada waktu itu, atau agak rekayasa sedikit namun saya rasa kondisi itu masih terasa sampai sekarang, kalau dulu yang adalah seorang pribumi dan penjajah, maka kondisi di zaman sekarang adalah si kaya dan si miskin, atau si miskin dengan si punya jabatan, entahlah, yang pasti buku ini amat sangat menarik, mungkin nanti saya akan membaca seluruh buku-bukunya pramoedya dan nanti saya akan share kembali bagaimana kesan kesan saya dalam membaca setiap buku yang saya baca, terima kasih.

Selasa, 16 Oktober 2018

KELOMPOK 5


KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

1.    Kerajaan Gowa-Tallo
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Tapi perang ini bukan berati perang antar suku Makassar – suku Bugis, karena di pihak Gowa ada sekutu bugisnya demikian pula di pihak Belanda-Bone, ada sekutu Makassarnya. Politik Divide et Impera Belanda, terbukti sangat ampuh disini. Perang Makassar ini adalah perang terbesar Belanda yang pernah dilakukannya di abad itu.
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya.
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’ Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Muhammad Said (1639 – 1653).

Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat. Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
  • VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
  • Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
  • Makassar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
  • Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama napasomba. Sama seperti ayahnya, sultan ini menentang kehadiran belanda dengan tujuan menjamin eksistensi Kesultanan Makasar. Namun, Mapasomba gigih pada tekadnya untuk mengusir Belanda dari Makassar. Sikapnya yang keras dan tidak mau bekerja sama menjadi alasan Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran. Pasukan Mapasomba berhasil dihancurkan dan Mapasomba sendiri tidak diketahui nasibnya. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas kesultanan Makassar.


2.    Kerajaan ternate-tidore
Sejarah dan Asal Usul Kerajaan Ternate dan Tidore – Pada abad ke-15, agama Islam mulai menyebar di kepulauan Maluku dengan perantara pedagang dan ulama dariJawa dan Malaka.
Setelah masuknya Islam, munculah empat kerajaan Islam di Maluku yang disebut Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja) yang terdiri dari:
  • Kesultanan Ternate yang dipimpin Sultan Zainal Abidin
  • Kesultanan Tidore yang dipimpinSultan Mansur
  • Kesultanan Jailolo yang dipimpinSultan Sarajati
  • KesultananBacan yang dipimpinSultan KaicilBuko
Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di sebelah Pulau Halmahera, Maluku Utara. Dua kerajaan tersebut berperan besar dalam melindungi Maluku dari pihak luar yang ingin menguasai wilayahnya.
Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan pusat perdagangan dan daerah penghasil rempah-rempah, seperti pala dan cengkeh.
Kerajaan Tidore menguasai Maluku bagian timur dan daerah di pantai-pantai Papua, sedangkan Kerajaan Ternatemenguasai sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, Banggai di Sulawesi, Flores, dan Mindanao.
Puncak kejayaan Kerajaan Ternate terjadi pada masa kepemimpinanSultan Baabullah, sedangkan di Kerajaan Tidore pada masa kepemimpinan Sultan Nuku.
Kerajaan Ternate dan Tidore memiliki persaingandalam perdagangan. Persaingan tersebut menimbulkan dua persekutuan dagang, yaitu:
  • Uli-Lima (Persekutuan Lima Bersaudara) yang dipimpinoleh Ternate. Terdiri dari Bacan, Seram, Obi, dan Ambon.
  • Uli-Siwa (Persekutuan Sembilan Bersaudara) yang dipimpinolehTidore. Terdiri dari Halmahera, Jailalosampaike Papua.
Raja-Raja Kerajaan Ternate dan Tidore
Raja Ternate yang pertama adalah Syahadati alias Muhammad Naqal yang mulai memimpin pada tahun 1081.
Raja Ternate yang kesembilan, Cirililiyah, adalah raja Ternate yang pertama kali bersedia memeluk agama Islam, ia kemudian mendapat gelar Sultan Jamalluddin.
Menurut catatan Portugis, Islam masuk ke Kerajaan Tidore pertama kali pada tahun 1471.
Kehidupan Politik Kerajaan Ternate dan Tidore
Saat bangsa Portugis datang, mereka langsung memihak dan membantu Kerajaan Ternate. Portugis mengira Kerajaan Ternate lebih kuat.
Begitu pula bangsa Spanyol yang memihak Kerajaan Tidore. Terjadilah peperangan antara keduanya, yang akhirnya diselesaikan dengan perjanjian Saragosa yang dibuat oleh Paus.
Dalam perjanjian tersebut,Portugis tetap di Maluku sedangkan Spanyol harus pergi dan pindah ke Filipina.
Kemudian, untuk dapat memperkuat kedudukannya di Maluku, Portugis mendirikan sebuah benteng yang bernama Benteng Santo Paulo.
Namun, semakin lama rakyat Kerajaan Ternate semakin membenci bangsa Portugis. Hingga akhirnyadi bawah pimpinan Sultan Hairun, Kerajaan menentang politik monopoli yang dilakukan Portugis dan melakukan perlawanan.
Putra dari Sultan Hairun, Sultan Baabullah bangkit melawan Portugis. Akhirnya pada tahun 1575 M, Portugis dapat dikalahkan dan pergi dan Benteng.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Ternate dan Tidore
Tanah di kepulauan Maluku subur dan banyak menghasilkan cengkeh dan pala. Pada abad ke 12 M, terjadi kenaikan permintaan rempah-rempah.
Pesatnya perkembangan perdagangan di Maluku menyebabkan terbentuknya persekutuan dagang yaitu Uli-Lima dan Uli Siwa.
Selain di perdaganan,masyarakat juga memiliki mata pencaharian di bidang perikanan untuk mendukung ekonomi mereka.
Kehidupan Sosial dan Budaya Kerajaan Ternate dan Tidore
Kedatangan Portugis di Maluku awalnya adalah untuk berdagang, membeli rempah-rempah, dan menyebarkan agama Katolik. Pada tahun 1534,Fransiscus Xaverius, seorang missionaris Katolik telah berhasil menyebarkan agama Katolik di Halmahera, Ternate, dan Ambon.
Sebelumnya di Maluku telah berkembang agama Islam. Untuk sektor budaya, salah satu karya seni bangunanyang memiliki nilai kebudayaan adalah Istana Sultan Ternate dan Masjid kuno di Ternate.
Kehancuran Kerajaan Ternate dan Tidore
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena adanya adu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.

Setelah menyadari bahwa sedang diadu domba, kedua Kerajaan ini kemudian bersatu untuk melawan Portugis dan Spanyol dan berhasil mengusir mereka.
Kemenangan tersebut ternyata tidak bertahan lama. VOC datang untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku. VOC kemudian berhasil menaklukkan Ternate.

(Bahan Ajar Untuk Siswa SMK 1 Juli Cikajang)



KELOMPOK 2


KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN

KESULTANAN BANJAR (BANJARMASIN)
                        Kesultanan Banjar terletak di Kalimantan Selatan, yang merupakan kelanjutan dari kerajaan yang bercorak hindu bernama Daha yang berpusat di Negara Dipa. Kerjaan Daha semasa pemerintahan Putri Junjung Buih dan Patihnya, Lambung Mangkurat, mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit, mengingat pengaruh maja pahit sampai ke daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan Sebagainya seperti tercatat dalam kitab Negarakertagama. Hubungan tersebut juga diceritakan dalam Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin. Konon diceritakan bahwa di Kerajaan Daha timbul perpecahan antara Pangeran Temenggung (m. 1588-1598)-pengganti Pangeran Sukarama (m. 1555-1585)-dan Raden Samudera, cucu Pangeran Sukarama. Raden Samudera pun dinobatkan sebagai Raja Banjar oleh Patih Masin, Muhur, Balit, dan Kuwin.
Ketika berperang dengan Daha, Raden Samudera meminta bantuan kepada Kesultanan Demak sehingga mendapat kemenangan, dan kemudian Raden Samudera menjadi pemeluk Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan  agama Islam kepada Raden beserta Patih dan Rakyatnya ialah seorang peghulu demak. Proses islamisasi di daerah itu menurut A.A Cense, terjadi sekitar 1550.
Semasa sultan suryanullah memerintah, kesultanan atau Banjarmasin meluaskan kekuasaannya sampai ke Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda takluk sebuah daerah pada waktu tertentu mengirimkan upeti pada Sultan Suryanullah sebagai penguasa Kerajaan Banjar. Setelah wafat, Sultan Suryanullah di ganti Putra tertuanya, Sultan Rahmatullah,yang masih mengirimkan upeti pada ke Demak yang pada waktu itu sudah menjadi Kesultanan Pajang. Pengganti Sultan Rahmatullah ialah Putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah, sedangkan Patihnya adalah Kiai Anggadipa. Pengganbti sultan Hidayatullah ialah Sultan Mahum Penembahan atau dikenal dengan Sultan Mustain Billah yang pada pemerintahannya berupaya memindahkan ibukota kerajaan ke Amuntai. Kesultanan banjar di bawah sultan Mustail Billah pada awal abad XVII ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya kesultanan Banjar, selain dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, juga menguasai daerah-daerah kerjaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, dan Barat.
Pada awal abad XVII itu, tepatnya 7 Juni 1607, Banjarmasin kedatangan pedagang Belanda Gillis Michielse-zoon yang diundang ke darat, tetapi akhirnya dibunuh dan kapalnya dirampas. Pihak VOC membalasnya, pada tahun1612, dengan menembaki Kota Banjarmasin hingga hancur, Sultan Marhum Penembahan pun kemudian memindahkan pusat kerajaan ke Kayu Tangi. Perdamaian baru tercapai pada 1635, tetapi keadaan tersebut tidak berlangsung lama.
Sejak pengaruh politik kolonial dan monopoli perdangan Belanda masuk ke Kalimantan Selatan, Kesultanan Banjar terus-menerus berselisih baik dengan pihak Belanda maupun dilingkungan Kesultanan Banjar sendiri, ditambah lagi masalah pedagan Inggris. Perselisihan terus terjadi terutama pada abat XVIII, yaitu semenjak Belanda membuat benteng di pulau Tatas pada 1747, kelak pada abad XIX-tepatnya 4 mei 1826-memlalu kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Adam, Pulau Tatas diserahkan kepada Belanda, dan juga daerah kuwin Selatan, Pulau Burung, dan Pulau Bekumpal.
Meskipun keadaan politik kurang stabil, kesultanan Banjar di masa Sultan Tahlilullah (m. 1700-1745) memberangkatkan seorang ulama besar yang bernama  Muhammda Arsyad bin Abdullah Al-Banjari (lahir di Martapura, 1710-1812) ke Haramian (Mekah dan Madinah). Atas biaya kesultanan ia pergi ke belajar ke Haramian selama beberapa tahun. Setelah beberapa tahun ia mengajarkan fiqih atau syariat dengan kitabnya Sabil al-Muhjtadin (Jalan Orang Yang Mendapat Pentunjuk). Ia juga juga ahli taswuf dengan karyanya Kanz al-Ma’rifah (Gudang Pengetahuan). Baik riwayat maupun ajaran, guru, dan kitab hasil karyanya secara panjang lebar telah dibicarakan oleh Azymardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Sejak Sultan Adam wafat pada 1 November 1857, penggantian Sultan di Campuri Politik Kolonial Belanda dan pertentanganpun mulai terjadi diantara keluarga Kesultanan, lebih-lebih setelah Kesultanan Banjar dihapuskan oleh Belanda. Perlawanan terhadap Belanda terus berlangsung, terutama antara tahun 1859 dan 1863, antara lain Pangeran Antasari (1809-1862), Pangeran Demang Lemang, dan Haji Nasrun.

KERAJAAN KUTAI
Di Kalimantan Timur, terutama di Kutai, kehadiran dan Proses islamisasi tidak menghadapi situasi dan kondisi politik perpecahan keluarga kerajaan, seperti di Kalimantan Selatan. Kerajaan kutai yang bercorak Hindu, menurut Hikayat Kutai, selalu mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Hubungan tersebut dapat diketahui dari data dalam Negarakertagama karya Empu Prapanca (1365). Berdasarkan Hikayat Kutai, pada masa Mahkota (m 1525-1600) keadaan Kutai didatangi dua orang Mubalig, yaitu Datok ri Bandang dan Tunggang Parangan, setelah lebih dulu mengislamkan Makasar. Kemudian Raja Mahkota mengadu Kesaktian dengan Mereka, namun kalah. Maka, Raja Mahkota pun memeluk agama Islam. C.A Mees memperkirakan bahwa Islam datang ke Kutai, dan mulai dianut oleh Raja Kutai, pada sekitar tahun 1575. Kerajaan Kutai kemudian menyebarkan Islam ke wilayah sekitarnya hingga awal abad XVII, ketika pedagang VOC mulai berdatangan, bahkan sampai masa penjajahan pemerintahan Hindia Belanda.
Secara umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat kegiatan penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad 13 ke atas, seiring berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Pusat kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama.
Dalam perkembangannya, Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan menyatukannya dengan kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua kerajaan tersebut dinamakannya Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Di era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu, berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, tahta kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan. Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan cara mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara. Dalam perlawanan ini, Aji Imbut dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan mengalami kesulitan untuk menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini. kemudian Aji Kado meminta bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya, Aji Imbut berhasil merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Setelah menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghapus kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan (ibukota sebelumnya) dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah ke Tepian Pandan, maka nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lambat laun, Tangga Arung disebut orang dengan Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan hingga saat ini. Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin.

KESULTANAN PONTIANAK
Karajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat kini antara lain adalah Tanjungpura dan Lawe yang pernah diberitak oleh Tomes Pires. Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis itu, sudah memiliki hubungan dengan Malaka dan Jawa. Tanjungpura dan Lawe (Daerah Sukadana) mengahsilkan Komoditas, antara lain, emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukan didaerah itu, demikian pula pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam baik yang berharga mahal maupun mujrah; dikatakan  pula bahwa rakyatnya banyak yang menjadi pedagang. Pada abad XVII kedua daerah kerjaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram, terutama dalam upaya perluasan Politik untuk menhadapi ekspansi politik VOC.
Beberapa tahun yang lalu Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta pernah melaporkan bahwa di daerah sukadana nisan-nisan kubur islam, dan ternyata setelah di teliti, bentuknya menunjukan persamaan dengan nisan-nisan kubur dari daerah Tralaya yang pernah diteliti oleh L.Ch. Damais. Nisan-nisan kubur tersebut berasal dari sekitar abad XIV-XV, seperti halnya nisan-nisan kubur di Tralaya.
Fakta itu diperkuat oleh pendapat bahwa kerajaan Tanjungpura dan Lawe (Sukadana) sudah mempunyai hubungan dengan Jawa dan Malaka, maka kehadiran Islam didaerah Kalimantan Barat Pesisir mungkin sejak abad-abad tersebut. Meskipun tidak diketahui dengan pasti kehadiran islam di Pontianak, terdapat pemberitaan bahwa sekitar abad XVII (1720) ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang datang antara lain ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka itu antara lain adalah Syarif Idrus yang bersama anak buahnya pergi ke mempawah, kemudian menyulusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil hingga sampai ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal Kota Pontianak.
Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pemimpin utama masyarakat ditempat itu dengan gelar Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota serta membuat benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah tersebut kemudian mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan dan didatangi oleh para pedagang dari berbagai negeri. Syarif Idrus (lengkapnya: Syarif Idrus Al-Aydrus bin Abdurrahman bin Ali bin Hassan bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Husin bin Abdullah Al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H. Konon ia gugur pada 1870 karena serangan musuh yang tidak di duga.
Cerita lain mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam di Kalimantan Barat, terutama ke Sukadana, ialah Habib Husin al-Qadri. Ia semula singgah di Aceh, lalu ke Jawa, kemudian ke Sukadana. Karena kesaktiannya, Habib Husin Al-Qadri mendapat banyak simpati dari Raja, Sultan Matan, dan Rakyatnya. Habib Husin Al-Qadri kemudian pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam, setelah wafat ia di gantikan oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Pangeran Sayid pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian di namakan Pontianak dan di Tempat inilah ia mendirikan Keraton dan masjid Agung. Sayid Abdurrahman Nurul Alam bin Habib Husin Al-Qadri (m. 1773-1808) digantikan oleh Syarif Kasim bin Abdurrahman al-Qadri (m. 1808-1828), selanjutnya kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan dari keluarga Habib Husin al-Qadri.

KESULTANAN PASIR
Sejarah Kerajaan Pasir (Sadurangas) tidak bisa dipisahkan dari perang saudara yang melanda Kerajaan Kuripan yang terjadi sekitar abad ke-16. Akibat perang saudara tersebut, dua panglima perang Kerajaan Kuripan, yaitu Temenggung Duyung dan Tukiu (Tokio) tersingkir hingga melarikan diri ke daerah yang bernama Sadurangas di Kalimantan Timur. Dalam pelariannya, kedua panglima perang Kerajaan Kuripan tersebut membawa seorang bayi perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Putri Betung. Bayi ini adalah anak perempuan dari Aria Manau, sahabat Temenggung Duyung dan Tukiu.
Aria Manau yang mengetahui bahwa putrinya diselamatkan oleh Temenggung Duyung dan Tukiu akhirnya menyusul ke Sadurangas. Bersama dengan istrinya, mereka memutuskan untuk menetap di Sadurangas. Di tempat ini, para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut membuat semacam perkampungan. Setelah menetap sekian lama di Sadurangas, nama Aria Manau mulai dilupakan orang dan dia lebih dikenal dengan nama Kakah Ukop yang berarti orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop sementara sang istri dikenal dengan nama Itak Ukop.
Perkampungan yang didirikan oleh para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut lama-lama berubah menjadi besar. Beberapa orang (suku) akhirnya memutuskan untuk ikut serta menetap di Sadurangas. Melihat begitu pesat perkembangan perkampungan di Sadurangas, Temenggung Duyung, Tukiu, Aria Manau, dan istrinya bermusyawarah untuk mengangkat seorang pemimpin di Sadurangas. Kata mufakat kemudian didapatkan dengan mengangkat Putri Betung, yang saat itu telah dewasa, menjadi pemimpin di Sadurangas sekitar tahun 1575 Masehi. Sejak saat itu, nama Kerajaan Sadurangas, kemudian Kerajaan Pasir, akhirnya mulai terdengar dan dikenal sebagai sebuah kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Sadurangas, hulu sungai Kandilo (Fidy Finandar, et.al., 1991:10).
Putri Betung menikah dengan seorang keturunan Arab (kemungkinan adalah raja) bernama Pangeran Indera Jaya yang berasal dari Gresik. Pernikahan ini dilaksanakan ketika Putri Betung telah menjadi ratu di Kerajaan Pasir. Ketika melangsungkan pernikahan, Pangeran Indera Jaya membawa sebongkah batu. Batu yang kini terletak di Kampung Pasir (Benua) tersebut dikenal dengan nama “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang.
Perkawinan antara Putri Betung dengan Pangeran Indera Jaya dikaruniai dua orang anak yang bernama Adjie Patih Indra dan Putri Adjie Meter. Adjie Patih akhirnya menggantikan kedudukan ibunya sebagai raja di Kerajaan Pasir. Putri Adjie Meter menikah dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam di Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M (Riwut, 1993:120).
Pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturuan Arab dari Mempawah dikaruniai 2 orang anak yang bernama Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian dinikahkan dengan putra Adjie Patih Indra yang bernama Adjie Anum. Keturunan dari pernikahan antara Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya akan menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir.
Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan Pasir bersamaan dengan perkawinan antara Putri Adjie Meter dengan seorang keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M (Riwut, 1993:120).
Putri Adjie Meter adalah adik dari Adjie Patih Indra (memerintah antara tahun 1567 – 1607), raja Kerajaan Pasir setelah Putri Betung turun tahta. Hubungan yang erat antara kakak-adik inilah yang menyebabkan suami dari Putri Adjie Meter dapat leluasa memasukan pengaruh Islam ke dalam Keraton Kerajaan Pasir, sehingga sekitar tahun 1600 M, agama Islam telah menjadi agama negara di Kerajaan Pasir (Finandar, et.al., 1991:10). Hanya saja, penyebutan kesultanan belum lazim digunakan pada waktu itu karena gelar yang digunakan oleh penguasa tertinggi Kerajaan Pasir adalah “adjie” atau “aji”, bukan “sultan”. Penyebutan kesultanan baru lazim digunakan ketika Kesultanan Pasir diperintah oleh Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie Perdana) (1667 – 1680).
Pada masa pemerintahan Sultan Adjie Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726) (pengganti Sultan Panembahan Sulaiman I) terjadi perang antara Kesultanan Pasir melawan suku bangsa yang disebut Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Dalam perang ini, Istana Kesultanan Pasir dibakar oleh pasukan dari Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Akibatnya, Sultan Adjie Muhammad Alamsyah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Pasir ke Pasir Benua, sebuah daerah yang dekat dengan Pasir Belengkong.

DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abdul. 2012. INDONESIA dalam ARUS SEJARAH “Kedatangan dan Peradaban Islam”. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve

(UNTUK MATERI KELAS X SMK 1 JULI CIAKAJANG)

KELOMPOK 1


KERAJAAN ISLAM SUMATRA

1.      Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak merupakan kerajaan yang pertama kali di Indonesia. Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-3 H (antara tahun 840 sd 1292 Masehi). Dikatakan bahwa pada tahun 173 H, ada sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak membawa angkatan dakwah. Dalam rombongan itu di pimpin oleh nahkoda khalifah.
Kerajaan Perlak didirikan oleh Sayid Abdul Aziz (raja pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada akhir abad ke 12, di Pantai Timur Sumatera terdapat negara Islam yang bernama Perlak. Tapi nama itu kemudian dijadikan sebutan Peureulak.
Negara Islam ini didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Persia, Maroko, Gujarat yang menetap di wilayah tersebut. Pendirinya adalah orang Arab dari suku Quraisy. Semenjak awal abad ke 12, pedagang Arab itu menikah dengan putri asli daerah tersebut, keturunan raja Perlak.
Dari perkawinannya dia mendapatkan seorang anak yang bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz inilah yang menjadi raja pertama negeri Perlak.
Kerajaan ini mengalami masa kejayaan pada pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan berdaulat. Pada era pemerintahannya, kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah.

2.      Kerajaan Samudar pasai
Kerajaan samudera pasai terletak di Aceh dan di pesisir timur Laut Aceh. Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai belum bisa di pastikan dengan tepat. Dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah.
Malik Al-Saleh adalah raja pertama kerajaan Samudera Pasai, dia juga pendiri kerajaan tersebut. Dalam hikayat raja-raja pasai disebutkan bahwa nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi seorang raja adalah merah Sile atau merah Selu. Malik Al-Saleh masuk Islam setelah mendapatkan seruan dakwah dari Syekh Ismail beserta rombongan yang datang dari Makkah.
Samudera Pasai ketika itu adalah pusat belajar agama Islam dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai negeri Islam. Untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan. Selain itu, Sultan Maliku Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah Nusantara.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Teokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Selama abad ke-13 sampai awal abad ke-16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota dengan Bandar Pelabuhan yang sangat sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan Internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.

3.      Kerajaan Aceh
Pada awalnya, wilayah Kerajaan Aceh ini hanya mencakup daerah Banda Aceh dan Aceh Besar. Yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Saat Mughayat Syah naik kedudukan menggantikan ayahnya, beliau berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya. Termasuk menaklukkan kerajaan Pasai.
Kerajaan-kerajaaan kecil yang berada disekitar Aceh juga di taklukan Mughayat Syah. Seperti Kerajaan Peurelak, Pedir, Daya dan Aru. Sejak saat itu kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa ini merupakan masa paling cerah bagi Aceh. Dimana kekuasaannya berkembang dan terjadi penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.
Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh dibangun Masjid Baiturrahman, rumah-rumah Ibadah, dan lembaga-lembaga pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang terkenal, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf As-Sinkili.

4.      Kerajaan minangkabau
Kerajaan Minangkabau juga di kenal dengan sebutan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Minangkabau adalah salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri. Meliputi Provinsi Sumatra Barat saat ini, dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16 H. Yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala).
Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17 H, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam riwayat adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan. Dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal adalah Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah. Yang artinya adat Minangkabau berdasarkan pada agama Islam. Sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran dan Hadits.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara mendasar terhadap adat Minangkabau. Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung. Hal itu dibuktikan dengan ditambahnya unsur pemerintahan, seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam

(Materi ajar untuk siswa kelas x SMK 1 Juli Cikajang ) 

KELOMPOK 4


KERAJAAN ISLAM DI JAWA
BAGIAN 2
1.      Kerajaan Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam di Demak. Kesultanan yang terletak di Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam yang pertama yang terletak di pedalaman pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang, kekuasaaan dan kebesarannya kemudian diambil oleh kerajaan Mataram.
Sultan atau Raja yang pertama adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, lereng gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga yaitu Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangklat sebagai Raja pajang setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya. Setelah  sultan demak meninggal muncullah kekacaan di ibu kota. Konon jaka tinggkir yang telah menjadi penguasa panjang itu dengan segera mengambil ahli kekuasaan, karna anak sulung dari sultan trenggono telah dibunuh oleh kemenakanya.  setelah menjadi raja yang berpengaruh dipulau jawa ia diberi gelar sultan adiwijaya. Setelah wafatnya, ia digantikan dengan  menantunya, aria pangiri.
Sementara itu anak sultan adiwijaya, pangeran bewana dijadikan penguasa di jipang. Pangeran muda ini, karna tidak puas dengan nasibnya ditengah-tengah lingkungan yang masih asing baginya. Meminta bantuan kepada senopati penguasa mataram untuk mengusir raja panjang yang baru pada thun 1588, dan usaha mereka berhasil. Sebagai ucapan rasa terimakasinya terhadap enopati mataram itu ia memberika warisan ayahnya. Akan tetapi senopati menyatakan keinginannya untuk tinggal  dimataram,ia hanya minta pasukan kerajaan panjang, karna pada saat itu mataram memang dalam prose menjadi kerajaan besar. Dan sejak itu kerajaan panjang berada dibawah kerajaan mataram. 

2.      Kerajaan Mataram Islam
Setelah Kerajaan Demak berakhir, berkembanglah Kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Di bawah kekuasaannya, Pajang berkembang baik. Bahkan berhasil mengalahkan Arya Penangsang yang berusaha merebut kekuasaannya. Tokoh yang membantunya mengalahkan Arya Penangsang di antaranya Ki Ageng Pemanahan (Ki Gede Pemanahan). la diangkat sebagai bupati (adipati) di Mataram. Kemudian puteranya, Raden Bagus (Danang) Sutawijaya diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya dan dibesarkan di istana. Sutawijaya dipersaudarakan dengan putra mahkota, bernama Pangeran Benowo.
Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Penggantinya, Pangeran Benowo merupakan raja yang lemah. Sementara Sutawijaya yang menggantikan Ki Gede Pemanahan justru semakin menguatkan kekuasaannya sehingga akhirnya Istana Pajang pun jatuh ke tangannya. Sutawijaya segera memindahkan pusaka Kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya sebagai raja pertama dengan gelar: Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pusat kerajaan ada di Kota Gede, sebelah tenggara Kota Yogyakarta sekarang. Panembahan Senapati digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Jolang (1601-1613). Mas Jolang kemudian digantikan oleh puteranya bernama Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung (1613-1645). Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Mataram mencapai zaman keemasan. Dalam bidang politik pemerintahan, Sultan Agung berhasil memperluas wilayah Mataram ke berbagai daerah yaitu, Surabaya (1615), Lasem, Pasuruhan (1617), dan Tuban (1620). Di samping berusaha menguasai dan mempersatukan berbagai daerah di Jawa, Sultan Agung juga ingin mengusir VOC dari Kepulauan Indonesia. Kemudian diadakan dua kali serangan tentara Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Mataram mengembangkan birokrasi dan struktur pemerintahan yang teratur. Seluruh wilayah kekuasaan Mataram diatur dan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut.
·         Kutagara. Kutagara atau kutanegara, yaitu daerah keraton dan sekitarnya.
·         Negara agung. Negara agung atau negari agung, yaitu daerah-daerah yang ada di sekitar kutagara. Misalnya, daerah Kedu, Magelang, Pajang, dan Sukawati.
·         Mancanegara. Mancanegara yaitu daerah di luar negara agung. Daerah ini meliputi mancanegara wetan (timur), misalnya daerah Ponorogo dan sekitarnya, serta mancanegara won (barat), misalnya daerah Banyumas dan sekitarnya.
·         Pesisiran. Pesisiran yaitu daerah yang ada di pesisir. Daerah ini juga terdapat daerah pesisir kulon (barat), yakni Demak terus ke barat, dan pesisir wetan (timur), yakni Jepara terus ke timur.
Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah-daerah persawahan yang luas. Seperti yang dilaporkan oleh Dr. de Han, Jan Vos dan Pieter Franssen bahwa Jawa bagian tengah adalah daerah pertanian yang subur dengan hasil utamanya adalah beras. Pada abad ke-17, Jawa benar-benar menjadi lumbung padi. Hasil-hasil yang lain adalah kayu, gula, kelapa, kapas, dan hasil palawija.
Di Mataram dikenal beberapa kelompok dalam masyarakat. Ada golongan raja dan keturunannya, para bangsawan dan rakyat sebagai kawula kerajaan. Kehidupan masyarakat bersifat feodal karena raja adalah pemilik tanah beserta seluruh isinya. Sultan dikenal sebagai panatagama, yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, Sultan memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rakyat sangat hormat dan patuh, serta hidup mengabdi pada sultan. Bidang kebudayaan juga maju pesat. Seni bangunan, ukir, lukis, dan patung mengalami perkembangan. Kreasikreasi para seniman, misalnya terlihat pada pembuatan gapura-gapura, serta ukir-ukiran di istana dan tempat ibadah. Seni tari yang terkenal adalah Tari Bedoyo Ketawang. Dalam prakteknya, Sultan Agung memadukan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya Hindu-Jawa. Sebagai contoh, di Mataram diselenggarakan perayaan sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw, dengan membunyikan gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. Kemudian juga diadakan upacara grebeg. Grebeg diadakan tiga kali dalam satu tahun, yaitu setiap tanggal 10 Dzulliijah (Idul Adha), 1 Syawal (Idul Fitri), dan tanggal 12 Rabiulawal (Maulid Nabi). Bentuk dan kegiatan upacara grebeg adalah mengarak gunungan dari keraton ke depan masjid agung. Gunungan biasanya dibuat dari berbagai makanan, kue, dan hasil bumi yang dibentuk menyerupai gunung. Upacara grebeg merupakan sedekah sebagai rasa syukur dari raja kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga sebagai pembuktian kesetiaan para bupati dan punggawa kerajaan kepada rajanya. Sultan Agung wafat pada 1645. Ia dimakamkan di Bukit Imogiri. Ia digantikan oleh puteranya yang bergelar Amangkurat I. Akan tetapi, pribadi raja ini sangat berbeda dengan pribadi Sultan Agung. Amangkurat I adalah seorang raja yang lemah, berpandangan sempit, dan sering bertindak kejam. Mataram mengalami kemunduran apalagi adanya pengaruh VOC yang semakin kuat. Dalam perkembangannya Kerajaan Mataram akhirnya dibagi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Sebelah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta dan sebelah timur menjadi Kasunanan Surakarta.
3.      Kesultanan ngayuguakarta dadininrat dan kasusunan surakarta hadiningrat
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunan Surakarta Hadiningrat merupakan bagian dari kerajaan Mataram Islam yang terpecah menjadi dua. Dua kerajaan Islam di Jawa ini berdiri dari tahun 1755 sampai sekarang ini.
Kedua kerajaan ini berdiri sebagai negara dependen yang berbentuk kerajaan. Dan dibawah dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wilayah kedua kerajaan ini dahulunya adalah kekuasaan Mataram yang runtuh akibat dari perebutan kekuasaan



(materi untuk kelas X SMK Nuurul Muttaqiin Cisurupan)

KELOMPOK 3


KERAJAAN ISLAM DI JAWA
BAGIAN 1
1.      Kerajaan Demak
Kerajaan Demak ini merupakan kerajaan islam yang pertama di Pulau Jawa. Kerajaan ini muncul pada tahun 1500 M dan runtuh pada tahun 1550 M. Meski terbilang cukup singkat berdirinya (50 Tahun), kerajaan ini mempunyai peranan yang sangat penting. Dan sebagai pusat penyebaran agama Islam di Nusantara.
Raja pertama kerajaan Demak adalah Raden Patah, yang diberi gelar Sultan Alam Akbar Al-Patah. Raden Patah memerintah di Demak dari tahun 1500-1518 M. Menurut cerita, Raden Patah ini keturunan dari raja terakhir Majapahit, yaitu raja Brawijaya V.
Pada masa pemerintahan Raden Patah, Kerajaan Demak berkembang sangat pesat. Karena memiliki daerah pertanian yang sangat luas sekali. Daerah pertanian itu menghasilkan banyak bahan makanan, seperti padi, rempah-rempah dan lain-lain.
Selain itu, kerajaan Demak juga tumbuh sebagai kerajaan maritim, karena letaknya yang strategis dan menjadi jalur perdagangan anatara Maluku dan Malaka. Maka dari itu, kerajaan Demak disebut juga kerajaan yang agraris dan maritim.
Selama berdirinya, kerajaan Demak mengalami 5 kali pergantian kepemimpinan. Yakni Raden Patah sebagai pendiri kerajaan (1475-1518), Pati Unus (1518-1521), Trenggana (1521-1546), Sunan Prawata (1546-1549), dan Arya Penangsang (1549-1554).
Dari 5 raja tersebut, kerajaan Demak mengalami masa kejayaan saat di pimpin oleh Pati unus dan Sultan Trenggana. Dan masa keruntuhannya kerajaan demak saat dipimpin oleh Arya Penangsang. Karena beliau dibunuh oleh pemberontak kiriman Hadiwijaya (Jaka Tingkir).
Selain itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim.
Barang dagangan yang diekspor Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu. Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudra Pasai. Pada masa pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, meliputi Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Daerah-daerah pesisir di Jawa bagian Tengah dan Timur kemudian ikut mengakui kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yang dialami Demak ini dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Karena Malaka sudah dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang yang tidak simpatik dengan kehadiran Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik. Pelabuhan pelabuhan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan transit.
Selain tumbuh sebagai pusat perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat penyebaran agama Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan Demak ini, memanfaatkan posisinya untuk lebih menyebarkan Islam kepada penduduk Jawa. Para wali juga berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran agama Islam di Maluku dilakukan oleh Sunan Giri sedangkan di daerah Kalimantan Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Kerajaan Demak yang bernama Tunggang Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan Pajang.


2.      Kerajaan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam yang pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh salah satu anggota Walisongo, yaitu Sunan Gunung Jati. Diawal abad ke-16, Cirebon merupkan daerah kecil dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan disana yang bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan Raja Pajajaran. Ketika  berhasil memajukan Cirebon , ia sudah menganut agama islam. Islam sudah masuk kecirebomn sejak tahun 1470-1475 M.
Akan  tetapi orang yang berhasi meningkatkan Cirebon menjadi sebuah kerajaan  adalah syarif hidayat yang terkenal dengna sunan gunung jati. Penganti sekaligus keponakan dari raden walangsungsang. Karena kedudukannya sebagai salah seorang dari wali songo, ia mendapat kehormatan dari raja-raja lain dijawa. Setelah Cirebon resmi menjadi sebuah kerajaan islam. Barulah sunan gunung jati berusaha meruntuhkan pajajaran yang belum menganut islam.
Setelah sunan gunung jati wafat ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal pangeran ratu atau pemenbahan ratu, penenbahan ratu wafat  digantikan oleh putranya yang bergelar penembahan girilaya, keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pangeran girilaya

3.      Kerajaan Banten
Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih sohor dengan sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan Banten.
Pada awalnya kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun 1513. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda. Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka Banten melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah wafat. Ia meninggalkan dua orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya (Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil ia sudah diikutkan kepada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian berkuasa di Jepara menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf menggantikan Fatahillah di Banten. Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf meninggal dan digantikan oleh puteranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572 - 1627). Ki Gede ing Suro adalah seorang penyiar agama Islam dari Surabaya dan perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan sekaligus merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah sebabnya, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir saja dapat ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang. Serangan tentara Banten terpaksa dihentikan, bahkan akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.
Gugurnya Maulana Muhammad menimbulkan berbagai perselisihan di istana. Putra Maulana Muhammad yang bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak. Pemerintahan dipegang oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil disingkirkan oleh Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan kekuasaan di Banten. Baru setelah Abumufakir dewasa dan Pangeran Manggala meninggal tahun 1624, maka Banten secara penuh diperintah oleh Sultan Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.
Pada tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang pertama kali. Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-orang Belanda dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya, orang-orang Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan mulai menimbulkan kekacauan di Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten menolak dan mengusir orang-orang Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya. Dua tahun kemudian, orang-orang Belanda datang lagi. Mereka menunjukkan sikap yang baik, sehingga dapat berdagang di Banten dan di Jayakarta. Menginjak abad ke-17 Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas. Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Abumaali Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun 1651 - 1682.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis mempercepat perkembangan dan kemajuan ekonomi Banten. Kehidupan sosial budaya juga mengalami kemajuan. Masyarakat umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam. Secara politik pemerintahan Banten juga semakin kuat. Perluasan wilayah kekuasaan terus dilakukan bahkan sampai ke daerah yang pernah dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian masyarakat yang menyingkir di pedalaman Banten Selatan karena tidak mau memeluk agama Islam. Mereka tetap mempertahankan agama dan adat istiadat nenek moyang. Mereka dikenal dengan masyarakat Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yang disebut tanah Kenekes. Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan. Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis bangunan yang masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.
Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana. Sultan Ageng Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh Sultan Haji sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC dengan politik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa membuat semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa berikutnya, bukanlah raja-raja yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan Banten.


(Dari berbagaimacam sumber dan hanya sebagai bahan materi untuk Siswa-siswi SMK 1 Juli Cikajang)