KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
KESULTANAN BANJAR (BANJARMASIN)
Kesultanan
Banjar terletak di Kalimantan Selatan, yang merupakan kelanjutan dari kerajaan
yang bercorak hindu bernama Daha yang berpusat di Negara Dipa. Kerjaan Daha
semasa pemerintahan Putri Junjung Buih dan Patihnya, Lambung Mangkurat,
mengadakan hubungan dengan kerajaan Majapahit, mengingat pengaruh maja pahit
sampai ke daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan Sebagainya seperti
tercatat dalam kitab Negarakertagama.
Hubungan tersebut juga diceritakan dalam Hikayat
Banjar dan Kronik Banjarmasin. Konon
diceritakan bahwa di Kerajaan Daha timbul perpecahan antara Pangeran Temenggung
(m. 1588-1598)-pengganti Pangeran Sukarama (m. 1555-1585)-dan Raden Samudera,
cucu Pangeran Sukarama. Raden Samudera pun dinobatkan sebagai Raja Banjar oleh
Patih Masin, Muhur, Balit, dan Kuwin.
Ketika
berperang dengan Daha, Raden Samudera meminta bantuan kepada Kesultanan Demak
sehingga mendapat kemenangan, dan kemudian Raden Samudera menjadi pemeluk Islam
dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan agama Islam kepada Raden beserta Patih dan
Rakyatnya ialah seorang peghulu demak. Proses islamisasi di daerah itu menurut
A.A Cense, terjadi sekitar 1550.
Semasa
sultan suryanullah memerintah, kesultanan atau Banjarmasin meluaskan
kekuasaannya sampai ke Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit,
Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda takluk sebuah daerah pada waktu tertentu
mengirimkan upeti pada Sultan Suryanullah sebagai penguasa Kerajaan Banjar.
Setelah wafat, Sultan Suryanullah di ganti Putra tertuanya, Sultan Rahmatullah,yang
masih mengirimkan upeti pada ke Demak yang pada waktu itu sudah menjadi
Kesultanan Pajang. Pengganti Sultan Rahmatullah ialah Putranya yang bergelar
Sultan Hidayatullah, sedangkan Patihnya adalah Kiai Anggadipa. Pengganbti
sultan Hidayatullah ialah Sultan Mahum Penembahan atau dikenal dengan Sultan
Mustain Billah yang pada pemerintahannya berupaya memindahkan ibukota kerajaan
ke Amuntai. Kesultanan banjar di bawah sultan Mustail Billah pada awal abad
XVII ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan dapat menghimpun lebih
kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya kesultanan Banjar, selain dapat
membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, juga menguasai
daerah-daerah kerjaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, dan Barat.
Pada
awal abad XVII itu, tepatnya 7 Juni 1607, Banjarmasin kedatangan pedagang
Belanda Gillis Michielse-zoon yang diundang ke darat, tetapi akhirnya dibunuh
dan kapalnya dirampas. Pihak VOC membalasnya, pada tahun1612, dengan menembaki
Kota Banjarmasin hingga hancur, Sultan Marhum Penembahan pun kemudian
memindahkan pusat kerajaan ke Kayu Tangi. Perdamaian baru tercapai pada 1635,
tetapi keadaan tersebut tidak berlangsung lama.
Sejak
pengaruh politik kolonial dan monopoli perdangan Belanda masuk ke Kalimantan Selatan,
Kesultanan Banjar terus-menerus berselisih baik dengan pihak Belanda maupun
dilingkungan Kesultanan Banjar sendiri, ditambah lagi masalah pedagan Inggris.
Perselisihan terus terjadi terutama pada abat XVIII, yaitu semenjak Belanda
membuat benteng di pulau Tatas pada 1747, kelak pada abad XIX-tepatnya 4 mei
1826-memlalu kontrak antara pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Adam, Pulau
Tatas diserahkan kepada Belanda, dan juga daerah kuwin Selatan, Pulau Burung,
dan Pulau Bekumpal.
Meskipun
keadaan politik kurang stabil, kesultanan Banjar di masa Sultan Tahlilullah (m.
1700-1745) memberangkatkan seorang ulama besar yang bernama Muhammda Arsyad bin Abdullah Al-Banjari
(lahir di Martapura, 1710-1812) ke Haramian (Mekah dan Madinah). Atas biaya
kesultanan ia pergi ke belajar ke Haramian selama beberapa tahun. Setelah
beberapa tahun ia mengajarkan fiqih atau syariat dengan kitabnya Sabil
al-Muhjtadin (Jalan Orang Yang Mendapat Pentunjuk). Ia juga juga ahli taswuf
dengan karyanya Kanz al-Ma’rifah (Gudang Pengetahuan). Baik riwayat maupun
ajaran, guru, dan kitab hasil karyanya secara panjang lebar telah dibicarakan
oleh Azymardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII. Sejak Sultan Adam wafat pada 1 November 1857, penggantian
Sultan di Campuri Politik Kolonial Belanda dan pertentanganpun mulai terjadi
diantara keluarga Kesultanan, lebih-lebih setelah Kesultanan Banjar dihapuskan
oleh Belanda. Perlawanan terhadap Belanda terus berlangsung, terutama antara
tahun 1859 dan 1863, antara lain Pangeran Antasari (1809-1862), Pangeran Demang
Lemang, dan Haji Nasrun.
KERAJAAN KUTAI
Di
Kalimantan Timur, terutama di Kutai, kehadiran dan Proses islamisasi tidak
menghadapi situasi dan kondisi politik perpecahan keluarga kerajaan, seperti di
Kalimantan Selatan. Kerajaan kutai yang bercorak Hindu, menurut Hikayat Kutai,
selalu mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Hubungan tersebut dapat
diketahui dari data dalam Negarakertagama karya Empu Prapanca (1365).
Berdasarkan Hikayat Kutai, pada masa Mahkota (m 1525-1600) keadaan Kutai
didatangi dua orang Mubalig, yaitu Datok ri Bandang dan Tunggang Parangan,
setelah lebih dulu mengislamkan Makasar. Kemudian Raja Mahkota mengadu
Kesaktian dengan Mereka, namun kalah. Maka, Raja Mahkota pun memeluk agama
Islam. C.A Mees memperkirakan bahwa Islam datang ke Kutai, dan mulai dianut
oleh Raja Kutai, pada sekitar tahun 1575. Kerajaan Kutai kemudian menyebarkan
Islam ke wilayah sekitarnya hingga awal abad XVII, ketika pedagang VOC mulai
berdatangan, bahkan sampai masa penjajahan pemerintahan Hindia Belanda.
Secara
umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs purbakala
tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai banyak yang rusak akibat
kegiatan penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini sedikit terkuak pada abad
13 ke atas, seiring berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja pertama
Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Pusat kerajan berada di Tepian Batu
atau Kutai Lama.
Dalam
perkembangannya, Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa
berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan
menyatukannya dengan kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua
kerajaan tersebut dinamakannya Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Pada abad
ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai
Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar
raja diganti dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam
adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Di
era pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke
daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu,
berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh
sebuah Dewan Perwalian. Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga.
Sepeninggal Sultan Idris, tahta kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya
tidak berhak atas tahta kerajaan. Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera
Mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya.
Sejak itu, Aji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Aji
Muhammad Aliyeddin.
Setelah
dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang
setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan
Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu,
dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan cara
mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara. Dalam perlawanan ini, Aji
Imbut dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan mengalami kesulitan
untuk menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini. kemudian Aji
Kado meminta bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya, Aji
Imbut berhasil merebut kembali tahta Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan
gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Sementara Aji Kado dihukum mati dan
dimakamkan di Pulau Jembayan.
Setelah
menjadi raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke
Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk
menghapus kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan
(ibukota sebelumnya) dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah
ke Tepian Pandan, maka nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung
yang berarti Rumah Raja. Lambat laun, Tangga Arung disebut orang dengan
Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan hingga saat ini. Pada tahun 1883, Aji
Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin.
KESULTANAN PONTIANAK
Karajaan-kerajaan
yang terletak di daerah Kalimantan Barat kini antara lain adalah Tanjungpura
dan Lawe yang pernah diberitak oleh Tomes Pires. Tanjungpura dan Lawe menurut
berita musafir Portugis itu, sudah memiliki hubungan dengan Malaka dan Jawa.
Tanjungpura dan Lawe (Daerah Sukadana) mengahsilkan Komoditas, antara lain,
emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari
Malaka yang dimasukan didaerah itu, demikian pula pakaian dari Bengal dan
Keling yang berwarna merah dan hitam baik yang berharga mahal maupun mujrah;
dikatakan pula bahwa rakyatnya banyak
yang menjadi pedagang. Pada abad XVII kedua daerah kerjaan itu telah berada di
bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram, terutama dalam upaya perluasan
Politik untuk menhadapi ekspansi politik VOC.
Beberapa
tahun yang lalu Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta pernah
melaporkan bahwa di daerah sukadana nisan-nisan kubur islam, dan ternyata
setelah di teliti, bentuknya menunjukan persamaan dengan nisan-nisan kubur dari
daerah Tralaya yang pernah diteliti oleh L.Ch. Damais. Nisan-nisan kubur
tersebut berasal dari sekitar abad XIV-XV, seperti halnya nisan-nisan kubur di
Tralaya.
Fakta
itu diperkuat oleh pendapat bahwa kerajaan Tanjungpura dan Lawe (Sukadana)
sudah mempunyai hubungan dengan Jawa dan Malaka, maka kehadiran Islam didaerah
Kalimantan Barat Pesisir mungkin sejak abad-abad tersebut. Meskipun tidak
diketahui dengan pasti kehadiran islam di Pontianak, terdapat pemberitaan bahwa
sekitar abad XVII (1720) ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang
datang antara lain ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca
Al-Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka itu antara lain adalah Syarif
Idrus yang bersama anak buahnya pergi ke mempawah, kemudian menyulusuri sungai
ke arah laut memasuki Kapuas Kecil hingga sampai ke suatu tempat yang menjadi
cikal bakal Kota Pontianak.
Syarif
Idrus kemudian diangkat menjadi pemimpin utama masyarakat ditempat itu dengan
gelar Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota
serta membuat benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu
Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah
tersebut kemudian mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan dan
didatangi oleh para pedagang dari berbagai negeri. Syarif Idrus (lengkapnya:
Syarif Idrus Al-Aydrus bin Abdurrahman bin Ali bin Hassan bin Alwi bin Abdullah
bin Ahmad bin Husin bin Abdullah Al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H. Konon
ia gugur pada 1870 karena serangan musuh yang tidak di duga.
Cerita
lain mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam
di Kalimantan Barat, terutama ke Sukadana, ialah Habib Husin al-Qadri. Ia
semula singgah di Aceh, lalu ke Jawa, kemudian ke Sukadana. Karena
kesaktiannya, Habib Husin Al-Qadri mendapat banyak simpati dari Raja, Sultan
Matan, dan Rakyatnya. Habib Husin Al-Qadri kemudian pindah dari Matan ke
Mempawah untuk meneruskan syiar Islam, setelah wafat ia di gantikan oleh salah
seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Pangeran
Sayid pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian di namakan
Pontianak dan di Tempat inilah ia mendirikan Keraton dan masjid Agung. Sayid
Abdurrahman Nurul Alam bin Habib Husin Al-Qadri (m. 1773-1808) digantikan oleh
Syarif Kasim bin Abdurrahman al-Qadri (m. 1808-1828), selanjutnya kesultanan
Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan dari keluarga Habib Husin
al-Qadri.
KESULTANAN PASIR
Sejarah Kerajaan Pasir (Sadurangas)
tidak bisa dipisahkan dari perang saudara yang melanda Kerajaan Kuripan yang
terjadi sekitar abad ke-16. Akibat perang saudara tersebut, dua panglima perang
Kerajaan Kuripan, yaitu Temenggung Duyung dan Tukiu (Tokio) tersingkir hingga
melarikan diri ke daerah yang bernama Sadurangas di Kalimantan Timur. Dalam
pelariannya, kedua panglima perang Kerajaan Kuripan tersebut membawa seorang bayi
perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Putri Betung. Bayi ini adalah anak
perempuan dari Aria Manau, sahabat Temenggung Duyung dan Tukiu.
Aria Manau yang mengetahui bahwa
putrinya diselamatkan oleh Temenggung Duyung dan Tukiu akhirnya menyusul ke
Sadurangas. Bersama dengan istrinya, mereka memutuskan untuk menetap di
Sadurangas. Di tempat ini, para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut membuat
semacam perkampungan. Setelah menetap sekian lama di Sadurangas, nama Aria
Manau mulai dilupakan orang dan dia lebih dikenal dengan nama Kakah Ukop yang
berarti orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop sementara sang istri
dikenal dengan nama Itak Ukop.
Perkampungan yang didirikan oleh
para pelarian dari Kerajaan Kuripan tersebut lama-lama berubah menjadi besar.
Beberapa orang (suku) akhirnya memutuskan untuk ikut serta menetap di
Sadurangas. Melihat begitu pesat perkembangan perkampungan di Sadurangas,
Temenggung Duyung, Tukiu, Aria Manau, dan istrinya bermusyawarah untuk
mengangkat seorang pemimpin di Sadurangas. Kata mufakat kemudian didapatkan
dengan mengangkat Putri Betung, yang saat itu telah dewasa, menjadi pemimpin di
Sadurangas sekitar tahun 1575 Masehi. Sejak saat itu, nama Kerajaan Sadurangas,
kemudian Kerajaan Pasir, akhirnya mulai terdengar dan dikenal sebagai sebuah
kerajaan yang mempunyai pusat pemerintahan di Sadurangas, hulu sungai Kandilo
(Fidy Finandar, et.al., 1991:10).
Putri Betung menikah dengan seorang
keturunan Arab (kemungkinan adalah raja) bernama Pangeran Indera Jaya yang
berasal dari Gresik. Pernikahan ini dilaksanakan ketika Putri Betung telah
menjadi ratu di Kerajaan Pasir. Ketika melangsungkan pernikahan, Pangeran
Indera Jaya membawa sebongkah batu. Batu yang kini terletak di Kampung Pasir
(Benua) tersebut dikenal dengan nama “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang.
Perkawinan antara Putri Betung
dengan Pangeran Indera Jaya dikaruniai dua orang anak yang bernama Adjie Patih
Indra dan Putri Adjie Meter. Adjie Patih akhirnya menggantikan kedudukan ibunya
sebagai raja di Kerajaan Pasir. Putri Adjie Meter menikah dengan seorang
keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter
inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam di
Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M (Riwut, 1993:120).
Pernikahan antara Putri Adjie Meter
dengan seorang keturuan Arab dari Mempawah dikaruniai 2 orang anak yang bernama
Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian dinikahkan
dengan putra Adjie Patih Indra yang bernama Adjie Anum. Keturunan dari
pernikahan antara Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya akan
menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir.
Ajaran agama Islam masuk ke Kerajaan
Pasir bersamaan dengan perkawinan antara Putri Adjie Meter dengan seorang
keturunan Arab dari Mempawah, Kalimantan Barat. Suami dari Putri Adjie Meter
inilah yang kemudian membawa pengaruh bahkan menyebarkan ajaran agama Islam ke
Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600 M (Riwut, 1993:120).
Putri Adjie Meter adalah adik dari
Adjie Patih Indra (memerintah antara tahun 1567 – 1607), raja Kerajaan Pasir
setelah Putri Betung turun tahta. Hubungan yang erat antara kakak-adik inilah
yang menyebabkan suami dari Putri Adjie Meter dapat leluasa memasukan pengaruh
Islam ke dalam Keraton Kerajaan Pasir, sehingga sekitar tahun 1600 M, agama
Islam telah menjadi agama negara di Kerajaan Pasir (Finandar, et.al.,
1991:10). Hanya saja, penyebutan kesultanan belum lazim digunakan pada waktu
itu karena gelar yang digunakan oleh penguasa tertinggi Kerajaan Pasir adalah
“adjie” atau “aji”, bukan “sultan”. Penyebutan kesultanan baru lazim digunakan
ketika Kesultanan Pasir diperintah oleh Sultan Panembahan Sulaiman I (Adjie
Perdana) (1667 – 1680).
Pada masa pemerintahan Sultan Adjie
Muhammad Alamsyah (Adjie Geger) (1703 – 1726) (pengganti Sultan Panembahan
Sulaiman I) terjadi perang antara Kesultanan Pasir melawan suku bangsa yang
disebut Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Dalam perang ini, Istana Kesultanan Pasir
dibakar oleh pasukan dari Hulu Dusun dan Hulu Sungai. Akibatnya, Sultan Adjie
Muhammad Alamsyah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Pasir ke Pasir
Benua, sebuah daerah yang dekat dengan Pasir Belengkong.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abdul. 2012. INDONESIA dalam ARUS SEJARAH “Kedatangan dan
Peradaban Islam”. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve
(UNTUK
MATERI KELAS X SMK 1 JULI CIAKAJANG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar