KERAJAAN ISLAM
DI JAWA
BAGIAN 1
1. Kerajaan Demak
Kerajaan
Demak ini merupakan kerajaan islam yang pertama di Pulau Jawa. Kerajaan ini
muncul pada tahun 1500 M dan runtuh pada tahun 1550 M. Meski terbilang cukup
singkat berdirinya (50 Tahun), kerajaan ini mempunyai peranan yang sangat
penting. Dan sebagai pusat penyebaran agama Islam di Nusantara.
Raja
pertama kerajaan Demak adalah Raden Patah, yang diberi gelar Sultan Alam Akbar
Al-Patah. Raden Patah memerintah di Demak dari tahun 1500-1518 M. Menurut cerita,
Raden Patah ini keturunan dari raja terakhir Majapahit, yaitu raja Brawijaya V.
Pada
masa pemerintahan Raden Patah, Kerajaan Demak berkembang sangat pesat. Karena
memiliki daerah pertanian yang sangat luas sekali. Daerah pertanian itu
menghasilkan banyak bahan makanan, seperti padi, rempah-rempah dan lain-lain.
Selain
itu, kerajaan Demak juga tumbuh sebagai kerajaan maritim, karena letaknya yang
strategis dan menjadi jalur perdagangan anatara Maluku dan Malaka. Maka dari
itu, kerajaan Demak disebut juga kerajaan yang agraris dan maritim.
Selama
berdirinya, kerajaan Demak mengalami 5 kali pergantian kepemimpinan. Yakni
Raden Patah sebagai pendiri kerajaan (1475-1518), Pati Unus (1518-1521),
Trenggana (1521-1546), Sunan Prawata (1546-1549), dan Arya Penangsang
(1549-1554).
Dari
5 raja tersebut, kerajaan Demak mengalami masa kejayaan saat di pimpin oleh
Pati unus dan Sultan Trenggana. Dan masa keruntuhannya kerajaan demak saat
dipimpin oleh Arya Penangsang. Karena beliau dibunuh oleh pemberontak kiriman
Hadiwijaya (Jaka Tingkir).
Selain
itu, Demak juga tumbuh menjadi sebuah kerajaan maritim karena letaknya di jalur
perdagangan antara Malaka dan Maluku. Oleh karena itu Kerajaan Demak disebut
juga sebagai sebuah kerajaan yang agraris-maritim.
Barang
dagangan yang diekspor Kerajaan Demak antara lain beras, lilin dan madu.
Barang-barang itu diekspor ke Malaka, Maluku dan Samudra Pasai. Pada masa
pemerintahan Raden Fatah, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak cukup luas, meliputi
Jepara, Tuban, Sedayu, Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan.
Daerah-daerah pesisir di Jawa bagian Tengah dan Timur kemudian ikut mengakui
kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Kemajuan yang dialami Demak
ini dipengaruhi oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Karena Malaka sudah
dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang yang tidak simpatik dengan kehadiran
Portugis di Malaka beralih haluan menuju pelabuhan-pelabuhan Demak seperti
Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik. Pelabuhan pelabuhan tersebut
kemudian berkembang menjadi pelabuhan transit.
Selain
tumbuh sebagai pusat perdagangan, Demak juga tumbuh menjadi pusat penyebaran
agama Islam. Para wali yang merupakan tokoh penting pada perkembangan Kerajaan
Demak ini, memanfaatkan posisinya untuk lebih menyebarkan Islam kepada penduduk
Jawa. Para wali juga berusaha menyebarkan Islam di luar Pulau Jawa. Penyebaran
agama Islam di Maluku dilakukan oleh Sunan Giri sedangkan di daerah Kalimantan
Timur dilakukan oleh seorang penghulu dari Kerajaan Demak yang bernama Tunggang
Parangan. Setelah Kerajaan Demak lemah maka muncul Kerajaan Pajang.
2. Kerajaan Cirebon
Kesultanan
Cirebon adalah kerajaan Islam yang pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh salah satu anggota Walisongo, yaitu Sunan Gunung Jati. Diawal
abad ke-16, Cirebon merupkan daerah kecil dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan disana yang bernama
Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan
Raja Pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon , ia sudah menganut
agama islam. Islam sudah masuk kecirebomn sejak tahun 1470-1475 M.
Akan
tetapi orang yang berhasi meningkatkan Cirebon menjadi sebuah kerajaan
adalah syarif hidayat yang terkenal dengna sunan gunung jati. Penganti
sekaligus keponakan dari raden walangsungsang. Karena kedudukannya sebagai
salah seorang dari wali songo, ia mendapat kehormatan dari raja-raja lain
dijawa. Setelah Cirebon resmi menjadi sebuah kerajaan islam. Barulah sunan
gunung jati berusaha meruntuhkan pajajaran yang belum menganut islam.
Setelah
sunan gunung jati wafat ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal pangeran ratu
atau pemenbahan ratu, penenbahan ratu wafat digantikan oleh putranya yang
bergelar penembahan girilaya, keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya
sampai pangeran girilaya
3. Kerajaan Banten
Kerajaan
Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya
ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan
pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan
perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam
penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin atau lebih
sohor dengan sebutan Fatahillah, mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan
Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan, yakni Kesultanan
Banten.
Pada
awalnya kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian
dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus
penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugis
dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan
Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugis dari Malaka tahun
1513. Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan
penaklukkan Pelabuhan Sunda Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih
merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda. Selain mulai membangun benteng
pertahanan di Banten, Fatahillah juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah
penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan
tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja
Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan
dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring
dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka
Banten melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah
wafat. Ia meninggalkan dua orang putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan
Pangeran Arya (Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara, karena sejak kecil
ia sudah diikutkan kepada bibinya (Ratu Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian
berkuasa di Jepara menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran Yusuf
menggantikan Fatahillah di Banten. Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha
perluasan daerah yang sudah dilakukan ayahandanya. Tahun 1579, daerah-daerah
yang masih setia pada Pajajaran ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran
Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf
meninggal dan digantikan oleh puteranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada
1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Pada waktu itu
Palembang diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572 - 1627). Ki Gede ing Suro
adalah seorang penyiar agama Islam dari Surabaya dan perintis perkembangan
pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang lebih
setia kepada Mataram dan sekaligus merupakan saingan Kerajaan Banten. Itulah
sebabnya, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang. Kerajaan
Palembang dapat dikepung dan hampir saja dapat ditaklukkan. Akan tetapi, Sultan
Maulana Muhammad tiba-tiba terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena
itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang. Serangan tentara
Banten terpaksa dihentikan, bahkan akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten.
Gugurnya
Maulana Muhammad menimbulkan berbagai perselisihan di istana. Putra Maulana
Muhammad yang bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak.
Pemerintahan dipegang oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil
disingkirkan oleh Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan
kekuasaan di Banten. Baru setelah Abumufakir dewasa dan Pangeran Manggala
meninggal tahun 1624, maka Banten secara penuh diperintah oleh Sultan
Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.
Pada
tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan Banten untuk yang pertama
kali. Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara
orang-orang Belanda dengan para pedagang Banten. Tetapi dalam perkembangannya,
orang-orang Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan mulai menimbulkan
kekacauan di Banten. Oleh karena itu, orang-orang Banten menolak dan mengusir
orang-orang Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda kembali ke negerinya. Dua
tahun kemudian, orang-orang Belanda datang lagi. Mereka menunjukkan sikap yang
baik, sehingga dapat berdagang di Banten dan di Jayakarta. Menginjak abad ke-17
Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas. Setelah Sultan Abumufakir
meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Abumaali Achmad. Setelah
Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan Abdulfattah atau
yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun
1651 - 1682.
Pada
masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan.
Letak Banten yang strategis mempercepat perkembangan dan kemajuan ekonomi
Banten. Kehidupan sosial budaya juga mengalami kemajuan. Masyarakat umum hidup
dengan rambu-rambu budaya Islam. Secara politik pemerintahan Banten juga
semakin kuat. Perluasan wilayah kekuasaan terus dilakukan bahkan sampai ke
daerah yang pernah dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada sebagian masyarakat
yang menyingkir di pedalaman Banten Selatan karena tidak mau memeluk agama
Islam. Mereka tetap mempertahankan agama dan adat istiadat nenek moyang. Mereka
dikenal dengan masyarakat Badui. Mereka hidup mengisolir diri di tanah yang
disebut tanah Kenekes. Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan. Dalam
bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan. Beberapa jenis
bangunan yang masih tersisa, antara lain, Masjid Agung Banten, bangunan keraton
dan gapura-gapura.
Pada
masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana.
Sultan Ageng Tirtayasa yang berusaha menentang VOC, kurang disetujui oleh
Sultan Haji sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan VOC
dengan politik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa
membuat semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa
berikutnya, bukanlah raja-raja yang kuat. Hal ini membawa kemunduran Kerajaan
Banten.
(Dari
berbagaimacam sumber dan hanya sebagai bahan materi untuk Siswa-siswi SMK 1 Juli Cikajang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar